Cerita Pendek : Avia

Radya
4 min readMar 29, 2021

--

Aku sedang bersantai membaca buku dari Ruta Sepetys yang berjudul The Fountais of Silence di ruang duduk rumahku saat tiba — tiba sosok imajinatif ini mengetuk pikiranku. Sosoknya berlarian merangkai beberapa cerita di kepalaku, sangat cepat sampai aku harus menyambar buku dan bolpoin untuk menumpahkan beberapa ide darinya. Aku beri nama dia Avia. Ini cerita Aviaku.

“AYOLAH! Hanya menandatangani ini saja.”

Suasana hening terjadi beberapa detik setelahnya. Kalimat tersebut terdengar kosong di ruangan luas ini, mengambang di udara. Aku menarik nafasku pelan. Melihat ke arah matanya yang tua dan sorotnya yang lelah, sepertinya beliau kurang tidur. Orang tua itu adalah atasanku di kantor, seorang kepala sekolah yang sebentar lagi akan pensiun, mungkin dua sampai tiga tahun lagi beliau purna tugas. Beliau pula lah yang beberapa bulan lalu mempercayakan aku sebagai koordinator satu dari sekian banyak proyek yang ada di sekolah itu. Kali ini matanya menerawang, menyiratkan bahwa ia menyerah melakukan negosiasi denganku. Sepertinya beliau sadar betul usahanya memanggilku ke ruang kerjanya tidak akan membuahkan hasil. Aku tersenyum sopan, dan menggeleng tegas sekali lagi.

“Maaf, Bapak, saya tidak bisa. Hal tersebut jelas melanggar aturan yang tertulis, Pak.”. Aku menatapnya lurus tepat di muka beliau. Terlihat jelas beliau putus asa. Memutuskan menunggu kalimat apalagi yang akan ia usahakan.

“Koordinator proyek yang lain mau saja, Bu, dan mereka aman — aman saja selama ini. Semuanya akan lebih mudah kalau Ibu mau menandatanganinya sejak awal.” Beliau berhenti sebentar, mungkin mencari — cari kalimat lain yang dirasa bisa mengubah keputusanku.

Sepertinya saat itu beliau mulai menyesali keputusannya menempatkan aku sebagai koordinator poryek besar ini. Beliau menarik nafas dan menghembuskannya keras — keras –hal ini entah sudah berapa kali ia lakukan selama hampir 30 menit kami berdebat di ruangan besar ini-. Masih belum ada kalimat ‘jitu’ yang keluar lagi. Aku memutuskan untuk menunggu.

“Begini saja, kalau Ibu takut ini akan dosa, nanti dosanya saya yang tannggung-”

kalimat itu tidak selesai diucapkan karena ku rasa beliau kaget melihat ekspresiku. Aku merasakan mataku membulat setelah mendengar kalimat pamungkas itu. Suara itu terdengar setengah — setengah. Sepertinya ia menyesal telah mengeluarkan kalimat tersebut. Jujur saja, aku boleh dibilang cukup kaget mendengar kalimat murahan itu meluncur mulus dari mulut atasanku ini, tapi aku cukup lega juga karena saat aku meneliti rautnya, tergambar persis ia sedang mengutuk dirinya sendiri atas kalimat tersebut.

Aku meletakkan semua berkas di tanganku ke atas mejanya, lalu berdiri seraya berkata “Kita berdua persis mengetahui akan hal ini, Pak. Tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat saya izin berbicara.” Aku meneliti setiap jengkal penyesalan di wajahnya sebentar. “Pertama, jelas yang Bapak minta itu menyalahi aturan, dan membohongi pihak lain. Apabila saya menandatangani surat itu artinya saya menyetujui kebohongan ini. Selain itu, apabila nanti di tengah berjalannya proyek terjadi masalah berkaitan dengan hal bohong yang saya setujui, kemungkinan kecil saya akan terkena imbasnya, selebihnya akan dibebankan pada bapak sebagai penanggung jawab proyek. Jadi saya kira Bapak patut berterimakasih pada tim saya karena telah berusaha mengingatkan dan menjauhkan Anda dari masalah seperti ini. Itu kalau Bapak masih mempercayakan tanggungjawab ini pada kami.” Aku berusaha menguasai diri agar tidak terlampau marah, masih ada satu atau dua kalimat lagi yang ingin aku tembakkan pada beliau, aku menarik nafas “Terakhir, Pak. Dalam agama yang saya anut dan saya percaya sejak kecil, pun mungkin bapak juga, tidak ada acara klaim dosa, Pak.” Atasanku itu menyendarkan punggung tuanya ke kursi besar yang ia duduki sejak tadi. “Setiap yang berdosa akan menanggung dosanya masing — masing, tanpa terkecuali. Dan apabila Bapak masih meminta hal yang sama, jawaban saya masih sama, Pak.” Kami berdua terdiam, aku masih berdiri tegak di depan mejanya. Nafasku tertahan atas kalimat terakhirku. “Maaf, apabila, Bapak sudah selesai, saya mohon diri kembali ke ruangan saya, Pak.”

Apa tadi katanya? ia akan menanggung dosa atas perbuatan salah yang kita setujui bersama? Sudah seberapa percaya dirinya dia atas pahala yang ia tabung selama ini? Oh tidak, aku bukan makhluk suci, aku memang belum bisa dikatakan perempuan yang benar — benar ‘soliha’ dan luput dari dosa dunia, tapi nilai — nilai agama ini benar adanya tertanam kuat sampai di sudut paling dalam hatiku. Rasanya mataku mulai memanas, ada air bah yang akan bocor sebentar lagi. Tapi aku berusaha mempertahankan bendungan itu dengan melihat ke atap ruangan mencari bantuan seekor cicak yang sedari tadi mendengarkan perdebatan kami, cicak itu berdecak, entah dia bermaksut memebenarkan pernyataanku atau bisa jadi dia heran karena ada dua manusia sejak tadi berdebat saja kerjanya.

“Avia, terimakasih.” Beliau berkata seraya menyodorkan berkas yang semula ku letakkan di mejanya, aku menerimanya dengan tersenyum kecil lalu mengangguk dengan segala kebingungan yang menyergap ‘apa maksudnya? apa perang tanda tangan ini sudah berakhir?’ batinku. “Kamu tidak bisa melanjutkan proyek kalau berkas ini kau tinggal di sini, Ibu Avia. Terimakasih, Nak. Lakukan apa yang menjadi tugasmu dan lakukan apa yang kau yakini benar, sekali lagi terimakasih.” ujarnya lagi lalu tersenyum. Aku memohon diri kembali ke ruanganku, menutup pintu ruangan besar itu.

Aku duduk di mejaku, ruangan besar itu sepi, hanya ada beberapa kipas angin yang senantiasa berputar di tiap sisi gedung yang kadang mengeluarkan suara aneh dan beberapa guru yang sedang mengoreksi pekerjaan siswanya. Guru lain pastilah sudah memasuki kelasnya masing — masing. Saat itu jadwalku kosong, aku mengeluarkan kotak bekalku yang berisi roti tawar isi abon daging sapi. Masih pukul sebelas, belum waktunya makan siang tapi debat panjang tadi membuatku lapar.

--

--