Cerita Pendek : Kedai Kopi di Ujung Gang

Radya
5 min readMar 28, 2021

--

Aku menulis ini di sebuah kedai kopi unik di ujung gang. Kedai dua lantai itu bergaya minimalis. Di dalamnya terpajang besar — besar beberapa poster penyanyi terkenal. Ada juga beberapa potret foto hitam putih yang terpajang di setiap dindingnya. Semuanya bercerita tentang kegiatan di stasiun, bandara, pelabuhan, dan terminal bus. Aku senang sekali memerhatikan foto — foto itu.

“Aku sendiri yang memotretnya” ujar barista di balik meja saat tahu aku menatap koleksi fotonya terlalu lama. Aku menoleh ke arahnya, masih menutup mulut.

“Aku memilih hitam putih karena aku merasa lebih bisa mengingat rasa dari setiap momennya tanpa perlu melihat warna — warna di sekitarnya.” katanya dengan mata berbinar. Kali ini aku mendekat, sebenarnya bukan itu yang aku bingungkan karena aku setuju foto hitam putih menurutku lebih bisa menyimpan sebuah cerita di baliknya.

“Lalu, kenapa?”

“eh, kenapa apa?” tanyanya karena bingung dengan pertanyaan singkat dariku.

“Kenapa semuanya kau ambil di tempat — tempat seperti ini?” tanyaku. Ya, aku heran kenapa dia seperti senang mengabadikan momen di tempat seperti stasiun dan kawannya.

“Oh! itu karena aku senang mengabadikan ekspresi — ekspresi kepergian dan kepulangan. Kental dengan raut melepaskan tapi tak lupa menyisipkan harapan, serta tentu saja raut muka senang melihat yang terkasih pulang. Serta rindu — rindu yang meluber di setiap gerak yang mereka lakukan.” dia menjelaskan dengan antusias. Aku menatapnya ‘orang ini menyenangkan’ pikirku saat itu.

“Dan juga ekspresi menunggu?” tanyaku setelah dia berhenti menjelaskan. Aku menunjuk sebuah potret yang terpajang di ujung gang menuju ke kamar mandi di restoran itu.

“Oh, ya tentu saja! aku ingin orang lain tahu bagaimana seseorang menunggunya dengan raut muka seperti itu agar mereka bergegas dan sadar untuk segera memberi kepastian”. Jawabnya. Lalu dia terdiam, matanya tertuju tepat pada potret yang baru saja kita bahas. Aku memerhatikan raut mukanya yang berubah. Sepertinya yang diamati sadar, lalu dia tersenyum, “Kau baru pertama kali mampir ya? aku hafal beberapa pelanggan setia kedaiku. Dan ku harap kau akan masuk ke list pelangganku yang selanjutnya. Mau pesan apa? I suggest you this beautiful coffee, non.”. Katanya seraya menunjuk sebuah nama menu di mejanya. Nada bicaranya penuh kebanggaan dan rautnya sudah kembali ceria. Itulah cerita pertama kali aku berkenalan dengan kedai ini, yang nanti ku yakini aku akan -dengan senang hati- menghabiskan waktu di sana.

Selain itu sepertinya si pemilik kedai ini gemar berkebun karena di dalamnya banyak sekali jenis tanaman hias yang disusun rapi di setiap sudut.

Hari ini aku duduk di lantai dua kedai tersebut sambil sesekali mengagumi rasa secangkir kopi di mejaku. Aku selalu duduk di sana, bagian pojok kedai lantai dua. Beberapa kali mengerjakan tugas kuliah dengan teman, tapi lebih sering sendiri-or to be precise- aku lebih senang duduk sendiri di restoran ini, restoran yang selalu mau memutarkan lagu yang aku pesan ke barista di depan (ada cerita unik di balik privilege ‘memesan lagu’, besok — besok aku ceritakan, ya!).

Apa tadi aku bilang, aku lebih suka duduk sendiri di pojok ruangan itu bukan tanpa alasan, kalau sedang beruntung aku bisa mendapat banyak sekali pertunjukan di depanku. Ya! Lihat tepat seperti saat ini. Aku sudah menduganya dari awal. Gadis berkerudung biru tua di seberangku memang sedang menunggu seorang laki — laki. Berkali — kali dia mematut penampilannya, dan sekarang aku tahu sebabnya. Senang rasanya melihat gadis itu sekarang tersenyum manis sekali seakan lupa beberapa menit lalu dia rajin melirik arloji di tangannya dengan raut muka kesal. Pertunjukan yang disuguhkan di hadapanku bermacam sekali. Beberapa orang kadang berkumpul tertawa bercanda dengan temannya semeja atau sekedar makan biasa, ada juga seorang laki — laki yang duduk sendiri dan selalu sibuk menatap laptopnya. Mungkin kalau aku jadi laptop itu aku bisa menjadi laptop yang paling beruntung karena selalu ditatap olehnya hahaha. Selain itu, ada seorang perempuan yang- ya mungkin seusiaku matanya tak pernah lepas dari novel yang ada di tangannya. Bermacam-macam ekspresi dia tampilkan, kadang dia tertawa kecil lalu dia terlihat kaget tak lama setelahnya muram. Tak jarang pertunjukan yang sedang tergelar adalah kesedihan, yang kadang bisa menarikku juga untuk merasakan kesedihan itu.

Pernah suatu hari, aku baru saja berniat duduk di singgasanaku memikirkan kelanjutan novel yang sedang gemar — gemarnya aku baca. Membayangkan membaca kelanjutan cerita novel itu ditemani secangkir matcha milkshake dan sepiring churros, wah aku benar — benar bersemangat! Namun tiba — tiba,

“Aku sudah cukup memberi maklum!”, kata seorang perempuan yang duduk beberapa meja di depanku. Tak lupa ia juga memukulkan tangannya ke meja. Lelaki di depannya terlihat kaget dan berusaha tenang.

“Dan aku aku juga sudah terlalu lelah mencoba”, sambungnya dengan suara dipelankan setelah ia menyadari ada beberapa pasang mata yang kaget mendengar ia berbicara sekeras tadi, dan ada beberapa pasang telinga yang ingin mendengar kelanjutan kalimatnya. Tapi setelahnya tak terdengar apapun lagi dari meja itu. Aku sempat melemparkan pandangan mataku ke mereka berdua, bukan apa, hanya merasa kesal karena suasana membaca novelku jadi sedikit terganggu. Tapi setelah itu aku lihat mereka berdua sama — sama menangis, tanpa suara. Si perempuan itu menutup mukanya dengan kedua tangan dan bahunya bergetar karena menangis serta menahan beratnya masalah yang sedang melandanya. Sedangkan si laki — laki diam menatap perempuannya, sambil sesekali mengusapkan punggung tangannya ke matanya yang kini mulai berair. Aku benar — benar tidak bisa menebak apa yang sedang menimpa mereka berdua tapi rasanya saat itu aku terlempar dalam kesedihan. Satu ruangan diam, dan rasa sedihnya pun menular. Dan sialnya barista di lantai satu seperti sengaja memutarkan lagu sedih pula. Saat itu lagu Flight To The Sea dari Graham Coxon mengalun pelan dalam restoran tersebut. Sisanya adalah sepi.

Bahkan saat aku menuliskannya lagi hari ini, sedih itu masih saja datang.

Kembali pada aku yang hari ini duduk sendiri di pojok ruangan. Sepiring croissant menungguku untuk menyantapnya. Aku tidak sedang menunggu siapapun, tidak sedang dikejar tugas apapun. Aku hanya- ya, bisa dibilang aku hanya ingin mengulang beberapa hal yang dulu sering aku lakukan bersama seseorang yang sangat dekat denganku. Sangat dekat sampai aku pikir “he is the onetill he just turn around and prove me wrong, hahaha. Tapi tidak menjadi soal sekarang. Menjadi -kembali- asing bukan sebuah pelanggaran, bukan? Toh, semua akan baik — baik saja, setidaknya itu harapanku.

Aku lega semua ini berakhir di saat memang harus sudah berakhir. Aku lega walaupun sekarang kita menjadi asing berkepanjangan yang entah sampai kapan. It’s funny that how we end up like tragic but it was real.

Someone once said to me “Forgive them, and let them go. But dont’t ever forget, or you could end up with the same mistake”.

Lagu Falling dari Harry Styles saat itu membangunkan aku dari segala potretnya yang datang silih berganti tanpa permisi seperti berlomba mempertontonkan urutan kejadian menyenangkan yang pernah kita lakukan di meja ini-bersama-.

Aku memotong croissant yang sejak tadi menungguku. Akhirnya dia ku masukkan ke mulut. Aku menyesal harus membuatnya menunggu lama di meja ini tanpa kepastian kapan dia akan masuk ke mulutku, karena ajaibnya setelah sepotong croissant itu masuk ke mulutku aku tersenyum, seolah berdamai dengan semua yang baru saja lewat. Lebih baik begitu, bukan?

--

--